Kelompok yang Dilarang dan Diperbolehkan Berpuasa

Kajian tentang orang-orang yang boleh tidak berpuasa ini bukan untuk meremehkan syariat Islam. Justru pembahasan ini untuk memperjelas batasan-batasan syariat kapan seseorang boleh tidak berpuasa selama bulan Ramadhan, dan apa konsekuensinya. Jangan sampai ada orang meninggalkan puasa dengan alasan tertentu, padahal dia belum masuk dalam kategori orang yang boleh meninggalkan puasa.

 

Dalil Pertama

Kelompok yang Dilarang dan Diperbolehkan Berpuasa

“…Maka barang siapa di antara kalian sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin…”(QS. Al-Baqarah: 184).

Dalil Kedua

Hadis dari Abu Darda’ RA:

Dari Abu Darda’ RA, beliau berkata: “Kami keluar (perjalanan) bersama Rasulullah SAW dalam bulan Ramadhan dalam kondisi cuaca yang sangat panas, sampai-sampai setiap kami meletakkan tangan di atas kepala karena panas tersebut. Dan tidak ada satu pun di antara kamu yang berpuasa kecuali Rasulullah SAW dan Abdullah ibn Rawahah.” (HR. Muslim)

Dalil Ketiga

Dari Jabir ibn Abdullah dia berkata: “Suatu ketika dalam sebuah perjalanan (safar) Rasulullah melihat seorang lelaki telah dikerumunin oleh banyak orang. Dia telah pingsan. Rasulullah bertanya: “Apa yang terjadi dengannya?”

Orang- orang menjawab: dia berpuasa. Rasulullah Sallahu‘alaihi Wasallam bersabda:

“Tidak termasuk perbuatan baik (birr) kalian berpuasa ketika dalam perjalanan) (HR. Muslim).

Dalil Keempat

Kelompok yang Dilarang dan Diperbolehkan Berpuasa

Dari Jabir ibn Abdullah, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW keluar melakukan perjalanan ke Mekkah pada tahun fath. Beliau berpuasa hingga mencapai wilayah Kurra’ al-Ghamim. Dan orang- orang pun berpuasa bersama beliau. Kemudian ada yang mengatakan kepada beliau: sesunguhnya orang-orang pada merasa berat (kesulitan) karena berpuasa, dan mereka sedang menunggu apa yang akan anda lakukan.

Kemudian setelah Ashar beliau meminta bejana yang berisi air dan meminumnya. Orang-orang pada melihatnya. Sebagian ikut berbuka, dan sebagian lain masih berpuasa. Dan sampailah kabar tentang sebagian orang yang masih berpuasa. Dan beliau bersabda: “mereka (yang masih berpuasa)  adalah orang-orang yang bermaksiat.

Dalil Kelima

“Sesungguhnya Allah‘azza Wa Jalla menghilangkan pada musafir separuh salat. Allah pun menghilangkan puasa pada musafir, wanita hamil dan wanita menyusui.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini Hasan)

Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 184

“Yaitu beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kalian sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu member makan seorang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Ali Muhammad ibn Ali atau lebih dikenal dengan nama Al-Kiya Al-Harrasi (w. 504 H) dalam kitabnya Ahkam Al-Quran mengatakan, bolehnya ifthar (berbuka) karena alasan sakit dan safar. Hanya saja, jika puasanya tidak menyebabkan sakit semakin parah, atau puasa tidak ada pengaruh negatif terhadap penyakitnya, maka ijma’ ulama mengharuskan tetap puasa.

Dalam ayat di atas juga ada kata safar (perjalanan), namun tidak disebutkan batas tertentu. Secara ‘urf perjalanan dekat tidak masuk kategori safar. Dari sini para ulama berijtihad dalam menentukan batas minimal safar. Imam Abu Hanifah memberi batas minimal tiga hari perjalanan baru disebut safar. Sedangkan Imam Syafi’I menetapkan batas minimalnya adalah enam belas farsakh.

Imam Al-Jashosh al-Hanafi (w. 370) mengutip dalam tafsirnya Ahkam Al-Quran juga mengatakan bahwa secara dzahir ayat tersebut membolehkan ifthar yang masuk dalam kategori sakit dan safar. Baik puasanya itu membahayaknnya atau tidak. Hanya saja untuk sakit yang tidak berbahaya, tidak bisa dijadikan ruskhsah untuk tidak berpuasa.

Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad al- Hasan Asy-Syaibani juga berpendapat jika sakit atau demamnya semakin parah karena puasa, maka dia berbuka (ifthar).

Beliau, Al-Jashash juga mengutip pendapat Imam Malik dalam Muwatha’, siapa saja yang puasanya membuatnya berat, maka dia berbuka kemudian membayar qadha’ dan tidak ada kaffarat. Ini juga berlaku bagi wanita hamil yang merasakan kepayahan. Orang sakit walaupun sudah merasa berat tapi masik kuat, maka dia tetap berpuasa.

Sedangkan menurut Imam Syafi’I, sebagaimana yang dinukil juga oleh Al-Jashash, jika sakitnya secara nyata bisa semakin bertambah dengan dilaikannya puasa, maka boleh berbuka. Namun jika hanya baru perkiraan akan parah, maka tidak boleh berbuka (ifthar). Ulama sepakat, bahwa rukhshah, atau kebolehan tidak puasa karena alasan sakit adalah sakit yang dikhawatirkan akan semakin parah dengan dilaksanaknnya puasa.

Dr. Wahbah Zuhaili, dalam kitabnya at-Tafsir al- Wasith mengatakan, Allah mudahkan bagi manusia untuk melaksanakan puasa, dan membolehkan untuk mengqadha’ bagi orang sakit, musafir, ibu hamil dan menyusui (yang tidak berpuasa pada bulan Ramadhan)

Wahbah Zuhaili mengatakan, orang-orang yang menjalankan puasa dengan sangat payah, seperti orang lanjut usia, orang yang sakit menahun, maka mereka dibebankan membayar fidyah dengan cara memberi makan satu orang miskin. Ukuran fidyah menurut Hanafiyah adalah setengah sha’ atau dua mud. Sedangkan menurut jumhur ulama hanya satu mud atau seperempat sha.

Ditulis Oleh: Yudo Laksono


Kamu bisa menyempurnakan ibadah puasa dengan cara bersedekah lewat Kitabisa. Download Aplikasi Kitabisa di Google Play Store atau App Store untuk memudahkan kamu dalam berbagi kebaikan.

banner_donasi_sedekah