When the why is strong, the how becomes easy
Kenyang rasanya mendengar omelan: orang Indonesia miskin karya, kuat konsumsi lemah produksi, kalaupun berkarya minim inovasi! Lantang suara memaki bangsa sendiri.
Padahal diujung sana ada yang sibuk bekerja di jalan sunyi, tapi jangankan difasilitasi, dipercaya pun tidak, alhasil semangat sering luntur karena kehabisan sumber daya, ide berujung wacana.
Menariknya topik diatas lebih sering dibicarakan ketimbang dicari jalan keluar, pokoknya yang salah ekosistem! Pemerintah tidak becus, pasar belum siap, kreator tidak kreatif! Kompleks betul seakan masalah saling mengunci dan sulit mengurai solusi. Kemana harus berharap?
Kolektivisme
Dulu masyarakat desa jika ingin melakukan pekerjaan besar seperti membangun rumah, menanam padi, upacara adat, tidak pernah mengeluh dan menggantung harapan ke pihak luar. Mereka selesaikan sendiri dengan bahu membahu saling bekerjasama dalam bingkai kolektivisme. Bung Hatta berkali-kali mengingatkan kalau inilah yang menjadi nilai dasar kita orang Indonesia: Gotong Royong. Masih adakah sekarang?
Tentu ada namun berbeda bentuk. Kolektivisme orang Indonesia kini tercermin dari belasan grup whats app yang berjejer di gadget. Begitu guyub kita sampai-sampai ikatan sosial seperti alumni SD, SMP juga dibuatkan grup. Kita ini senang bersama-sama, senang berkumpul! Hanya saja masih sebatas guyub dalam berkumpul “royong” belum tampak “gotong” nya yang berarti bekerja/mewujudkan karya.
Gotong Royong 2.0
Inilah yang menjadi alasan kitabisa hadir. Didalamnya ada unsur “kita” yang mengandung kolektivisme dan “bisa” yang mencerminkan optimisme. Kita bangkitkan lagi optimisme bangsa dengan ikut memikul tanggung jawab bersama-sama, ikut berkontribusi, berpartisipasi, dalam mewujudkan karya.
Crowdfunding menjadi titik mula, dimana kita bisa mendanai bersama beragam inisiatif anak bangsa. Tidak ada lagi cerita kekurangan sumber daya. Kita harus ikut urunan untuk ciptakan perubahan bersama. Ide-ide lokal sudah saatnya jadi juara, mau itu dibidang sosial, kreatif ataupun teknologi. Kalau didukung bersama pasti ide berbuah karya!
Ekosistem ini harus dijemput, bukan ditunggu. Kita terlahir dengan nilai gotong royong yang kini perlu diremajakan melalui teknologi. Jangan biarkan teknologi tumbuh eksponensial sedangkan kesejahteraan tumbuh linier. Keduanya perlu dijembatani dan saling memberikan nilai tambah.
Kita harus percaya diri! Kita sudah memiliki semua yang dibutuhkan: manusia, sumber daya alam, bahkan konsepnya pun sudah kita miliki sejak ratusan tahun yang lalu. Mereka namakan crowdfunding buat kita urunan, mereka sebut crowdsourcing buat kita gotong royong. Bukankah kata Rendra, Tokoh Bugis Kajao Laliddong juga sudah lebih dulu menemukan sistem pembatasan kekuasaan raja mendahului pemikir politik Prancis Montesquieu?
Salam KitaBisa!