Inflasi Wacana vs Crowdfunding

February 20, 2015
Oleh : Muhammad Timur

Sebuah smartphone dihadapkan ke muka saya, layarnya bening, casing nya berkilau. “Tim gw beli hp baru dong, tau ga uangnya dari mana?” “Wah dari mana?! “Dari menang lomba UIY**!! Abis ini gw mau beli laptop juga” . . .

Sejurus saya teringat poster UIY** yg saban hari menumpuk di halte-halte kampus, judulnya besar, dibold hitam : Who Will Be  The Next Entrepreneur? Yang lewat disana pasti terpatung dan tergiur dengan iming-iming seed capital untuk memulai bisnis.

Tapi fakta berbicara lain, sebagai salah satu kompetisi bisnis plan tersohor di kampus, saya terperangah ketika teman saya yang menjadi juaranya justru menggunakan hadiahnya untuk keperluan konsumtif, alih alih merealisasikan ide bisnis yang telah dijanjikan.

 

Inflasi Wacana

Tentu cerita diatas cukup akrab ditelinga kita, tidak sedikit orang yang menggunakan uang hasil lomba/kompetisi baik itu dari kampus, swasta ataupun pemerintah (PKM) untuk hal-hal trivial seperti beli gadget, liburan, sampai bayar uang kosan. Klasik betul, kenapa terus berulang?

Mahasiswa terbiasa diapresiasi wacananya, bukan karyanya. Mari lebih spesifik, hampir seluruh kompetisi bisnis plan yang dinilai adalah ide (dalam kata lain wacana) yang dipoles sedemikian rupa, dibuat proyeksinya, lalu ditarik dalam jangka waktu tertentu sehingga menampilkan IRR & ROI positif. Parahnya lagi dituangkan secara jelimet dalam puluhan lembar kertas berjilid mika.

Celakanya budaya kita masih sering mengapresiasi lembaran kertas diatas, sehingga semakin banyak yang berlomba menjadi ahli pencipta ide, bukan pewujud karya. Wacana yang terus menerus terapresiasi akan menimbulkan inflasi. Inflasi wacana : saat pertumbuhan kata-kata lebih tinggi ketimbang pertumbuhan perbuatan.

 

Menggoreng Wacana

Wacana/Ide perlu digoreng agar tidak mentah, minyak gorengnya adalah komentar orang lain yang bisa berbentuk sanggahan, pujian, kritik, sampai menjadi matang karena kaya tanggapan. Pada level berikutnya selain digoreng ide juga harus diuji. Ini bagian terpenting karena ide harus dijalankan untuk melihat respon/outputnya. Mencari validated learning.

Itulah mengapa beberapa kompetisi bisnis mengharuskan pesertanya sudah menjalankan bisnisnya ketimbang masih rencana. Dengan dijalankan ada riwayat pengalaman, ada statistik pencapaian dan ada proses pembelajaran yang tervalidasi. Disinilah momen dimana karya berderajat tinggi diatas wacana.

Masalahnya banyak orang enggan menggoreng idenya, karena ide harus diproduksi dulu, dan memproduksi ide (mengkongkritkan rencana) tentu butuh biaya, butuh dana, dan melibatkan resiko. Tidak sedikit yang terlanjur memproduksi idenya lalu gagal karena ternyata produknya tidak mendapatkan cukup peminat. Yang penakut mundur teratur, selebihnya dihantui keraguan.

make-a-list

Crowdfunding Solusinya!

Dengan perkembangan teknologi, masalah diatas bisa teratasi. Kini pemilik ide tidak perlu ketakutan mengalami kerugian besar jika ingin memulai bisnis/menciptakan produk. Caranya bagaimana? Melalui crowdfunding campaign, melakukan eksperimen sosial dengan memperlihatkan sample/prototype produk anda dan meminta orang lain untuk mendanai, sebagai timbal balik donatur akan mendapatkan produknya di masa depan.

Tentu minim resiko, karena tidak perlu produksi massal. Jika ternyata produk ini kurang disukai maka akan sepi peminat/donatur, dan jika sepi peminat berarti tidak mendapatkan modal, tidak bisa memulai usaha. Dengan cara ini siapapun akan terkondisikan untuk hanya menjalankan sesuatu yang sudah jelas ada peminatnya, sudah jelas konsumennya.

Ide/wacana tetap diapresiasi tapi tidak instant, ia harus terlebih dahulu divisualisasikan, diceritakan dan dituangkan dalam bentuk karya kecil (prototype) yang merupakan miniatur dari ide besar. Miniatur inilah yang diuji dan dijual kepada khalayak. Itulah mengapa platform crowdfunding sering disebut memiliki fungsi tidak hanya untuk fundraising, namun juga market validation dan customer acquisition.

Alhasil, anak muda Indonesia bisa terbebas dari inflasi wacana. Setiap kata/rencana harus bisa dipertanggung jawabkan dan tentunya dilaksanakan. Ide tidak diukur dari seberapa cantik ia dipoles atau seberapa panjang ia diceritakan, namun seberapa mungkin ia dapat terlaksana dan seberapa meyakinkan anda untuk melaksanakannya.

Salam KitaBisa!

 

 

Bagikan