“Om sama Tante NusantaRun udah sampe mana ya, Kak?”
Pertanyaan itu muncul di WhatsApp saya beberapa jam setelah pelari NusantaRun memulai perjalanan dari Wonosobo. Pengirimnya adalah ibu dari seorang anak disabilitas bernama Cika. Mata Cika tak bisa melihat secara sempurna dan untuk berjalan pun Cika harus dibantu kursi roda.
Ibunya bercerita, Cika menangis setelah menyaksikan langsung para pelari NusantaRun. Cika tak habis pikir ada ratusan orang-orang yang sama sekali tak mengenal dirinya, mau membantu pendidikan Cika dan teman-teman sekolahnya.
Cika sebenarnya tak sendirian, setiap kali saya bercerita tentang NusantaRun, banyak orang yang skeptis. Bagaimana bisa 201 orang rela berlari sejauh 196 kilometer dari Wonosobo sampai Gunung Kidul untuk meningkatkan kualitas pendidikan adik-adik disabilitas. Dan semua dilakukan tanpa bayaran sepeser pun!
Untuk menjawab kebingungan itu, saya memutuskan untuk menjadi saksi langsung perjalanan NusantaRun selama tiga hari. Tulisan ini adalah pelajaran yang saya dapat selama membantu dan menyaksikan langsung perjalanan para pelari NusantaRun.
Kebaikan Tak Mengenal Kesibukan
Saat mencari nama “Adita Irawati” di google, saya terkejut dengan hasilnya. Ternyata Mbak Dita, begitu saya biasa menyapanya, adalah seorang staf ahli presiden. Saya tak bisa membayangkan kesibukan Mbak Dita. Namun, selama empat tahun ia tak pernah ketinggalan mengikuti NusantaRun.
Mbak Dita masih mau menyediakan waktu untuk latihan fisik sebelum mengikuti NusantaRun. Ia juga tak sungkan mengajak banyak orang untuk berdonasi ke halaman galang dananya.
Mbak Dita hanya salah satu dari ratusan “orang sibuk” lainnya yang mengikuti NusantaRun. Ada pembicara, pengusaha, pegawai kantoran, sampai publik figur yang rela meluangkan waktunya untuk mengikuti NusantaRun.
Mbak Dita dan para pelari NusantaRun membuktikan bahwa kesibukan bukan halangan untuk berbuat kebaikan.
Solidaritas Itu Nyata
“Maaf Mbak, saya lagi ngurusin lahiran anak saya.” Itulah jawaban Mas Mugya Mauludi saat saya tanya tentang perkembangan halaman galang dananya (ps: maaf ya Mas Mugya, sering saya tanya-tanya). Beberapa hari sebelum NusantaRun, Mas Mugya memang dikaruniai buah hati.
Fokus menyambut Si Kecil membuat Mas Mugya belum sempat menyebarkan halaman galang dananya. Namun, solidaritas untuk Mas Mugya datang dari sesama pelari. Komunitas lari Bandung bekerja keras agar halaman galang dana Mas Mugya mendapatkan banyak donasi.
Padahal tak semua komunitas lari Bandung akan ikut NusantaRun, tapi mereka melepas ego pribadi dan kelompok. Bagi komunitas lari Bandung, ini bukan sekadar membantu Mas Mugya, ini soal membantu pendidikan adik-adik disabilitas. Ada misi yang jauh lebih besar dari sekadar membantu Mas Mugya.
Solidaritas semacam itu sering sekali saya temui selama mengurus NusantaRun. Dari situ saya kembali percaya bahwa gotong royong dan solidaritas bukan cuma ada di buku pelajaran SD, sekarang saya benar-benar merasakannya langsung.
Tribute Untuk Mas Buddy
Ada satu momen yang membuat mata saya basah saat start NusantaRun. Momen itu terjadi ketika Kak Christopher memberikan bip (papan nomor) milik Mas Buddy kepada Mbak Vonny. Bagi saya momen itu bukan sekadar penyerahan bib.
Mas Buddy adalah salah seorang pelari NusantaRun yang berpulang ke pangkuan-Nya karena serangan jantung. Saya hanya bisa diam beberapa detik saat menerima kabar duka tersebut, sore sebelumnya saya masih berkirim pesan dengan Mas Buddy.
Setelah menenangkan diri, saya mencoba membuka halaman galang dana Mas Budyy. Ada satu komentar donatur yang membuat saya merinding, donatur itu menulis, “Damai di sana ya Bro, kita akan lanjutkan perjuanganmu.”
Komentar itu kembali melintas di pikiran saya saat bib Mas Buddy diserahkan kepada Mbak Vonny. Penyerahan bib itu seperti bukti bahwa perjuangan Mas Buddy berlanjut di arena NusantaRun.
Secara fisik Mas Buddy memang telah meninggalkan kita semua, tapi spirit perjuangannya saya rasakan betul selama tiga hari penyelenggaraan NusantaRun.
Selamat jalan Mas Buddy, terima kasih untuk segala inspirasinya!
Karena Menyerah Bukan Pilihan
Saya ingat raut wajah Mbak Melda Apriani di Check Point 6 (Kilometer 83). Mbak Melda meringis kesakitan, sesekali ia menutup wajahnya dengan kedua tangan sakit kesakitan. Matanya memerah menahan sakit saat tim medis memecahkan banyak blister (kumpulan cairan karena melepuh) di telapak kakinya.
Di sisi lain, saya melihat Mas Ancha berjalan tertatih saat memasuki Check Point ke 6. Mas Ancha punya ciri khas berlari tanpa alas kaki. Saya melihat telapak kakinya hitam legam, ada banyak lecet di sana-sini. Tapi saat saya tanya bagaimana kondisinya, ia hanya tersenyum.
Mbak Melda dan Mas Ancha bisa saja memilih menyerah, memilih tak melanjutkan lari. Namun, mereka memilih terus berlari.
Saat itu saya ingat salah satu perkataan seorang pelari, “Saya gak bakal nyerah karena di setiap langkah saya ada amanah banyak orang yang dititipkan ke saya.”
Niat Mulia Didukung Penyelenggaraan Luar Biasa
Saya percaya niat saja tak cukup untuk berbuat baik. Yang menentukan adalah apa yang kita lakukan untuk mewujudkan niat tersebut. Bagi saya, NusantaRun mewujudkan niat mulianya dengan sebuah penyelenggaraan yang sangat rapi.
Mulai dari start saya merasakan betul bagaimana NusantaRun sangat mementingkan keselamatan pelarinya. Berkali-kali Kak Christopher mengatakan bahwa keselamatan yang utama start dan finish adalah rumah kalian masing-masing. Perkataan itu dibuktikan dengan banyak hal, mulai dari tersedianya ambulance dalam rentang jarak tertentu, tim medis, marshall, phisio, dan relawan yang cekatan membantu.
Hal-hal kecil juga sangat diperhatikan, ambil contoh tato temporer rute NusantaRun yang bergambar elevasi rute-rute NusantaRun. Mengetahui elevasi akan membantu pelari untuk mempersiapkan diri dan fisik sebelum melalui rute tersebut.
Hal kecil lain yang sangat membantu misalnya live tracker yang membantu kita mengetahui posisi pelari. Plus, di tiap pos pelari juga harus melapor saat check-in dan check-out.
Semua persiapan itu menjadi tanda bahwa panitia NusantaRun menjunjung tinggi keselamatan para pelari NusantaRun.
Terima kasih NusantaRun
Pengalaman membantu selama beberapa bulan dan menyaksikan langsung NusantaRun selama tiga hari adalah pengalaman yang tidak akan saya lupakan.
Seorang teman yang ikut menyaksikan NusantaRun bahkan sampai terinspirasi menjadi pelari.
Bagi saya, NusantaRun bukan soal adu cepat, bukan soal menang atau kalah. NusantaRun adalah soal bagaimana kita belajar untuk mengalahkan ego diri sendiri. Belajar untuk berbagi.
Selesai menulis ini, saya ingin mengirimkan pesan kepada Cika. Saya akan mengatakan, “Om dan Tante NusantaRun sudah sampai ke rumahnya masing-masing, tapi mereka akan selalu ingat Cika, karena mereka berlari demi Cika dan teman-teman.”
Sekali lagi terima kasih NusantaRun, saya belajar banyak dari NusantaRun.