Mengapa Storytelling Menjadi Penting untuk Organisasi Nonprofit

July 26, 2016
Oleh : Iqbal Hariadi

Di era digital seperti sekarang, bercerita atau storytelling tidak lagi menjadi sekadar hiburan. Di dunia marketing, storytelling kini menjadi hal penting agar siapapun bisa didengar. Contoh mudahnya, orang lebih suka melihat iklan yang memiliki cerita dibandingkan iklan yang secara langsung bilang menjual barang. Ini juga yang menjadi alasan mengapa storytelling menjadi penting untuk nonprofit.

4TDHSPIMJ6

Banyak perusahaan atau organisasi yang mulai menggunakan strategi ini dalam memasarkan ide atau produk mereka. Apalagi mengingat sekarang zaman digital. Tidak hanya berupa tulisan, lisan, atau presentasi dengan gambar, narasi bercerita yang efektif juga harus menggugah penonton atau pendengar secara personal. Bila ide atau produk yang diselipkan di dalam ‘cerita’ dapat menjawab pertanyaan mereka atau sesuai dengan pengalaman pribadi mereka, maka mereka akan lebih cepat tertarik. Karena itulah, membangun koneksi dengan klien itu juga penting.

Cerita yang bagus adalah cerita yang dapat menstimulasi bagian otak yang memproses kemampuan berbahasa. Tidak hanya itu, cerita yang bagus juga dapat memancing kita untuk mengaitkan narasi tersebut dengan pengalaman pribadi. Misalnya: seperti sebuah penelitian yang pernah dilakukan di Spanyol pada tahun 2006. Beberapa kata yang berkaitan dengan indera penciuman, seperti “mint” atau “mawar”, tidak hanya membuat seseorang membayangkan dua kata itu. Mereka juga membayangkan aromanya.

TD2WHV8MIE

Untuk kata-kata yang hanya bisa dibayangkan wujudnya secara fisik, seperti “jaket” atau “kancing”, tidak membuat seseorang membayangkan aromanya. Tidak seperti kata “mint” dan “mawar” tadi.

Lalu, bagaimana dengan kata-kata yang berhubungan dengan gerak atau olah tubuh? Mungkin ini yang kerap disebut dasar penyebab dari “latah” di Indonesia. Misalnya: saat kita membaca kata “ambil” atau “tendang”, bagian dari saraf yang mengatur gerak motorik kita akan terpengaruh dan menjadi lebih aktif. Banyak yang menyebutnya sebagai “proses alam bawah sadar” dan mungkin juga benar.

Direktur dari Dynamic Cognition Laboratory di Washington, Amerika Serikat, yang bernama Jeffrey Sacks, menyatakan bahwa saat kita membaca dan benar-benar memahami sebuah cerita, otak kita secara otomatis akan menciptakan simulasi berupa peristiwa yang digambarkan pada cerita tersebut. Hal ini dibuktikan dengan percobaan yang dilakukan Sacks dan timnya pada tahun 2009.

Dalam studi tersebut, para peserta dibagi ke dalam dua grup. Grup pertama diminta untuk membaca cerita fiksi. Sementara itu, grup kedua diminta untuk membaca cerita yang berdasarkan dari kisah nyata. Gelombang otak kedua grup sama-sama diteliti. Hasilnya? Bagian otak yang bereaksi terhadap cerita yang dibaca kedua grup tampak sama. Hal ini membuktikan bahwa selama pembaca dapat menjiwai cerita sehingga bereaksi secara emosional, tidak masalah apakah itu termasuk kisah fiksi atau kisah nyata.

Untuk menggerakkan pembaca atau penonton, ahli neuroeconomist Paul Zak menggunakan Freytag’s Pyramid agar respons terhadap cerita menjadi begitu kuat. Selama ada karakter yang relatable (sangat nyata sehingga pembaca atau penonton merasa mirip dengannya atau setidaknya kenal dengan sosok serupa) dan konflik yang meyakinkan, tidak perlu penjelasan terlalu banyak dan gamblang, alias ‘hard-selling’.

VJF8BWGNNW

Menjual sesuatu itu penting, namun gunakan cara yang halus. Yang pasti, akhir cerita harus menunjukkan tujuan yang jelas. Seperti: bagaimana melibatkan partisipasi pembaca atau penonton agar karakter lain yang senasib dengan si A di dunia nyata dapat ikut terbantu dan mencapai akhir bahagia yang sama. Ini sangat membantu bagi organisasi nonprofit yang sedang mencari dana dan dukungan lainnya.

Bagikan