Meski telah berusaha menjaga kesehatan dan diri sendiri selama masih dalam kandungan, terjadinya cacat lahir masih tidak bisa dihindari. Seperti halnya atresia esofagus, cacat lahir langka ketika sang buah hati dilahirkan dalam kondisi tidak memiliki esofagus atau saluran ini tidak berhasil berkembang dengan optimal. Centers for Disease Control and Prevention mengungkapkan, bayi dengan kondisi ini memiliki dua esofagus yang terpisah, yaitu atas dan bawah dan tidak terhubung.
Pada sebagian besar kasus, atresia esofagus terjadi bersama dengan fistula trakeoesofageal, cacat kelahiran ketika bagian kerongkongan justru terhubung dengan trakea atau batang tenggorokan. Akibatnya, makanan tidak bisa masuk ke perut melalui mulut, dan terkadang bayi bisa mengalami kesulitan bernapas. Pun, bayi akan lebih rentan untuk mengalami infeksi, seperti misalnya pneumonia dan kondisi refluks asam.
Penyebab Atresia Esofagus
Ada empat jenis atresia esofagus yang perlu Anda ketahui, berdasarkan Boston Children’s Hospital, yaitu:
- Tipe A adalah saat bagian atas dan bawah esofagus tidak terhubung dan ujungnya tertutup pada tipe ini, tidak ada bagian kerongkongan yang menempel pada trakea.
- Tipe B adalah atresia esofagus yang sangat jarang terjadi. Pada tipe ini, bagian atas esofagus melekat pada trakea, tetapi bagian bawah esofagus memiliki ujung yang tertutup.
- Tipe C adalah tipe yang paling umum terjadi. Pada tipe ini, bagian atas esofagus memiliki ujung tertutup dan bagian bawah esofagus melekat pada trakea.
- Tipe D adalah tipe paling langka, tetapi paling berbahaya. Pada tipe ini, bagian atas dan bawah esofagus tidak terhubung satu sama lain tetapi masing-masing terhubung secara terpisah ke trakea.
Sayangnya, hingga kini belum diketahui dengan pasti apa yang menyebabkan bayi mengalami atresia esofagus atau kealpaan esofagus. Diduga, kondisi ini terjadi selama bayi masih berada di dalam kandungan dan lebih sering terjadi pada ibu yang mengalami polihidramnion atau cairan ketuban yang berlebihan selama masa kehamilan. Tidak hanya itu, atresia esofagus pun lebih rentan terjadi pada bayi yang turut memiliki masalah pada tulang belakang, jantung, dan ginjal.
Baca juga:
Kisah Fariz Melawan Atresia Esofagus
Cerita Gibran Melawan Infeksi Serratia
Gejala Atresia Esofagus
Gejala bayi yang mengalami atresia esofagus tidak dapat menelan dengan normal dan bisa saja mengalami kesulitan bernapas. Setelah dilahirkan, bayi akan mengalami air liur berlebih dan diikuti oleh keluarnya lendir juga cairan oral lainnya sebagai dampak dari kesulitan menelan yang ia alami. Sekresi ini dapat muncul sebagai gelembung putih berbusa di mulut bayi dan memungkinkan terjadinya kekambuhan meski telah disedot.
Jika bayi turut mengidap fistula trakeoesofageal, risiko sekresi pun kan meningkat, seperti cairan lambung dan air liur atau lendir terhirup ke paru-paru atau aspirasi. Akibatnya, bayi dapat mengalami gangguan pernapasan yang signifikan, seperti misalnya pneumonia. Batuk dan tersedak sangat mungkin terjadi ketika bayi mengalami kesulitan bernapas. Pun, hipoksia dan sianosis akan mengikuti. Sementara beberapa bayi mengalami pelunakan dan pelemahan tulang rawan trakea atau trakeomalasia.
Bagaimana Penanganannya?
Tidak hanya sulit menelan dan sulit bernapas, bayi yang mengalami atresia esofagus pun kan kesulitan menyusu. Hal ini sangat berbahaya bagi tumbuh kembangnya di usianya yang masih sangat belia. Biasanya, tindakan penanganan untuk mengatasi masalah ini adalah melalui pembedahan atau operasi. Tujuannya adalah menghubungkan kedua ujung esofagus, sehingga bayi bisa kembali menelan dan bernapas dengan normal.
Kamu bisa bantu mereka yang membutuhkan biaya pengobatan atresia esfoagus dengan cara berdonasi di Kitabisa. Untuk berdonasi, klik gambar di bawah ini!