Skizofrenia adalah gangguan mental yang menyebabkan penderitanya mengalami halusinasi, delusi, kekacauan berpikir, dan perubahan perilaku dalam jangka panjang. Gejala ini merupakan gejala dari psikosis, yaitu kondisi saat penderita mengalami kesulitan membedakan antara pikirannya sendiri dengan kenyataan.
Selain itu, separuh dari penderita skizofrenia juga menderita gangguan mental lain, yaitu penyalahgunaan NAPZA, depresi, dan gangguan kecemasan. Penderita penyakit skizofrenia ini juga berisiko mengalami kematian di usia muda 2-3 kali lebih tinggi.
Di Indonesia diperkirakan 1-2 orang setiap 1000 penduduk Indonesia berdasar riset Kementerian Kesehatan Republik Indonesia di tahun 2013, mengalami gangguan jiwa berat, termasuk skizofrenia. Dari jumlah tersebut hampir 15 persen penderita mengalami pemasungan.
Faktor-Faktor Risiko
Ada beberapa faktor yang bisa meningkatkan risiko seseorang terkena penyakit skizofrenia ini:
- Jika seseorang memiliki anggota keluarga, terutama orang tua atau saudara kandung yang mengidap penyakit ini berisiko hingga 10 kali lipat lebih tinggi.
- Kekurangan gizi, infeksi virus, dan keracunan saat berada di dalam kandungan khususnya usia 6 bulan pertama kandungan.
- Memiliki ayah kandung yang sudah berusia lanjut ketika dilahirkan.
- Stres. Meski tidak secara langsung meningkatkan risiko skizofrenia, seorang yang mengalami stres berkepanjangan bisa mengalami gangguan mental akut. Kondisi ini banyak terjadi pada mereka yang mengalami trauma di masa kecil, sehingga efek halusinasinya dapat terbawa hingga dewasa serta mengganggu kesehatan mentalnya.
- Memiliki penyakit autoimun.
- Perbedaan struktur otak.
Baca juga:
Hari Kesehatan Mental Dunia, Pijarkan Kesehatan Masyarakat
Cerita Pahlawan Bagi Penderita Gangguan Jiwa
Cara Menangani Penyakit Skizofrenia
Skizofrenia adalah penyakit yang hingga kini belum ada obatnya. Metode pengobatan hanya sekadar mengendalikan dan mengurangi gejala saja. Beberapa metode pengobatan tersebut yaitu:
Obat-obatan
Obat antipsikotik digunakan untuk menangani halusinasi dan delusi dalam dosis seminimal mungkin. Antipsikotik ini untuk menghambat efek dopamin dan serotonin dalam otak dengan beberapa efek samping seperti berat badan naik, kejang, mulut kering, pusing, dan gairah seks menurun. Meski sudah membaik, penderita harus tetap mengonsumsi obat ini seumur hidupnya, yang diberikan dalam bentuk tablet atau suntik tergantung pada kemauan pasien untuk diobati.
Psikoterapi
Psikoterapi dilakukan dengan kombinasi pemberian obat-obatan, agar pasien bisa mengendalikan gejala penyakit ini. Metode psikoterapi yang diterapkan yaitu:
- Terapi Individual. Psikiater mengajarkan keluarga dan teman pasien cara berinteraksi dengan pasien, dengan memahami pola pikir dan perilakunya.
- Terapi Perilaku Kognitif. Untuk mengubah perilaku dan pola pikir pasien. Dengan menggabungkan terapi perilaku kognitif dengan penggunaan obat-obatan, bisa membantu pasien memahami penyebab halusinasi dan delusi, serta cara mengatasinya.
- Terapi Remediasi Kognitif. Untuk mengajarkan pasien cara memahami lingkungan sosial, meningkatkan kemampuan mengingat sesuatu, dan mengendalikan pola pikir.
- Terapi Elektrokonvulsif. Terapi untuk meredakan keinginan bunuh diri, mengatasi gejala depresi berat, dan menangani psikosis ini dianggap metode yang paling efektif. Dalam terapi ini pasien akan dibius umum, serta diberi obat agar otot lebih rileks. Selanjutnya akan dipasang elektroda di ubun-ubun untuk dialiri arus listrik rendah guna memicu kejang singkat di otak pasien. Terapi ini bisa dikombinasikan dengan psikoterapi dan pemberian obat serta dilakukan 2-3 kali sepekan, selama 2-4 minggu.
Mengingat skizofrenia adalah penyakit yang diderita 1-2 orang dari 1000 penduduk di Indonesia, kamu bisa bantu biaya pengobatan mereka dengan donasi di Kitabisa.