Puasa merupakan ibadah wajib di bulan Ramadhan yang disyariatkan untuk semua umat muslim. Meski begitu, Allah SWT juga memberikan keringanan kepada mereka yang tidak mampu menjalankan puasa karena uzur tertentu, yaitu:
- Ibu hamil dan menyusui
- Lansia
- Orang sakit yang tak ada harapan sembuh
Sebagai gantinya, mereka wajib membayar fidyah (memberi makan kepada orang miskin) sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan syariat.
“Beberapa hari yang telah ditentukan, maka barangsiapa di antara kalian yang sakit atau dalam bepergian, wajib baginya untuk mengganti pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang yang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya), untuk membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin. Barangsiapa yang berbuat baik ketika membayar fidyah (kepada miskin yang lain) maka itu lebih baik baginya, dan apabila kalian berpuasa itu lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui”. (QS. Al Baqarah: 184)
Secara istilah, fidyah artinya memberi makan kepada fakir miskin sebagai ganti atas puasa yang ditinggalkannya. Fidyah ini bisa dilaksanakan oleh diri sendiri maupun diwakilkan oleh anggota keluarga. Dengan membayar fidyah, gugurlah kewajiban puasa yang sudah ditinggalkannya.
Sebagai contoh wanita hamil atau menyusui diperbolehkan untuk tidak berpuasa jika khawatir membahayakan kesehatan bayinya. Begitu pula lansia atau orang yang sedang sakit keras.
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An Nisa’: 29)
Hukum dan Dalil Fidyah dalam Islam
“Sesungguhnya Allah menggugurkan kewajiban bagi musafir puasa dan setengah shalat, demikian pula bagi wanita hamil dan menyusui.” – hadis riwayat Tirmizi
at-Turkumani menyampaikan bahwa hadis tersebut telah dikaji oleh banyak perawi kompeten. Dan oleh karena dianggap tidak ada sisi cacatnya, hadis tersebut sah dan bisa dirujuk sebagai dalil untuk menentukan soal hukum fidyah.
Dari hadis tersebut, ulama bersepakat bahwa musafir (orang yang bepergian jauh) boleh meninggalkan puasa, tapi wajib meng-qadhanya di hari lain. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukum fidyah bagi ibu hamil dan menyusui, yakni:
- Pendapat pertama mengatakan bahwa kewajiban berpuasa atas ibu hamil dan menyusui telah gugur. Oleh karena itu mereka harus membayar fidyah dan tidak wajib meng-qadha puasa.
- Pendapat kedua menyatakan bahwa ibu hamil/menyusui sama-sama memiliki kewajiban untuk membayar fidyah DAN meng-qadha puasa, misalnya ketika sudah selesai masa nifas atau saat bayi telah disapih.
“Wanita menyusui dan wanita hamil, jika takut terhadap anak-anaknya, maka keduanya berbuka dan memberi makan”. [HR Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil, 4/18]
Nah, perbedaan pendapat mengenai hukum fidyah dan qadha puasa ini masih diperdebatkan sampai sekarang. Jika bingung, ambil pendapat yang sekiranya baik untuk kebaikan dan keselamatanmu.
Bolehkah Membayar Fidyah dalam Bentuk Uang?
Ulama dari mazhab Syafi’i bersepakat bahwa jumlah fidyah yang mesti dibayar seorang muslim yang meninggalkan puasanya adalah sebanyak satu mud (675 gram/6,75 ons) makanan pokok (beras) per hari puasa yang ditinggalkan.
Selain makanan, fidyah juga bisa berupa uang. Hal ini disampaikan oleh KH Arwani Faishal, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Mas’ail PBNU:
“Fidyah adalah pengganti dari suatu ibadah yang telah ditinggalkan, berupa sejumlah makanan yang diberikan kepada fakir miskin. Dengan mengamati definisi dan tujuan fidyah yang merupakan santunan kepada orang miskin, maka boleh memberikan fidyah dalam bentuk uang. Karena jika orang miskin tersebut, sudah cukup memiliki bahan makanan, maka lebih baik memberikan fidyah dalam bentuk uang, agar dapat dipergunakan untuk keperluan lain.”
Kamu bisa menyempurnakan ibadah di bulan Ramadhan dengan cara berbagi kebaikan melalui Kitabisa. Sedekah dan zakat di Kitabisa dengan klik gambar di bawah ini.