Para ulama sepakat bahwa ibu hamil termasuk golongan yang boleh meninggalkan puasa Ramadhan jika kuat dugaan (gholabah dzon) puasa menyebabkan hal bahaya pada dirinya dan anaknya. Hanya saja akan terjadi perbedaan pendapat pada sisi konsekuensi hukumnya. Apakah hanya membayar qodha’ atau hanya fidyah atau justru kedua-duanya.
Keselamatan Ibu dan Bayi
Para ulama sepakat bahwa jika ada kekhawatiran terhadap keselematan/ kesehatan ibu dan anak dengan dilaksanaknnya puasa, maka boleh tidak melaksanakan puasa Ramadhan. Dan perlu dilakukan setelah itu hanya membayar qadha’ puasanya saja tanpa fidyah.
Dari kalangan Hanafiyah, mereka menyamakan semua kondisi, baik khawatir hanya terhadap Ibu, atau anak atau keduanya, semua boleh tidak berpuasa dan hanya wajib qadha’ tanpa fidyah dan kafarat.
Ibu hamil dan menyesui jika khawatir terhadap kesehatan/ keselamatan dirinya atau bayinya, mereka boleh tidak puasa dan cukup membayar qadha’, tidak ada beban kafarat, karena dia berbuka karena ada udzur syar’i dan juga tidak ada kewajiban fidyah. Pendapat serupa juga berlaku dalam madzhab Malikiyah. Di dalam Syarh Mukhtashar Khalil, Imam Al-Kharasyi mengatakan:
Pendapat yang masyhur (malikiyah), bahwa wanita hamil yang (tidak puasa) tidak ada kewajiban membayar fidyah, ini berbeda dengan menyusui. Yang demikian itu karena hamil itu seperti orang sakit.
Keselamatan Ibu
Begitupun jika yang dikhawatirkan keselamatan atau kesehatannya hanya si ibunya, konsekuensinya hanya mengqadha’ tanpa fidyah. Ini kedudukannya seperti orang sakit. Adapun wanita hamil dan menyusui jika ifthar (tidak puasa) karena alasan khawatir terhadap keselamatan jiwannya, maka wajib qadha’ tanpa fidyah.
Keselamatan Bayi
Untuk poin ketiga ini, pendapat Hanafiyah dan Malikiyah sama dengan pendapat yang pertama dan kedua. Sedangkan untuk madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah, jika ibu hamil berbuka (tidak berpuasa) karena alasan khawatir terhadap keselamatan dan kesehatan anaknya, maka yang harus dilakukan nanti adalah membayar qadha’ dan fidyah.
Mereka yang Diwajibkan Berpuasa
Secara umum, belum banyak pendapat ulama mengenai ini, utamanya dari empat madzhab yang membolehkan tidak puasa karena alasan bekerja. Atau dalam kata lain, bekerja walaupun keras dengan tenaga fisik dan otot, bukan rukhshah untuk tidak puasa Ramadhan. Namun yang dibicarakan oleh para ulama adalah kondisi letih yang sangat parah, kehausan yang sangat hebat.
Sebagai contoh, para pekerja proyek pembangunan jalan. Mereka bekerja dengan otot, tenaga fisik, di siang hari, di bawah terik matahari. Apakah pekerjaan mereka ini otomatis membolehkan mereka tidak puasa? Jawabnya: Mereka tetap wajib menjalankan puasa Ramadhan.
Setelah itu baru dilihat, apakah kondisi pekerjaan yang seperti itu membuat mereka sangat kehausan? Dehidrasi akut. Atau sangat kelelahan tanpa makan dan minum? Kalau jawabannya iya, maka perlu kita lihat dan sinkronkan dengan pendapat para ulama berikut ini.
Imam Al-Kasani (w. 587 H), salah satu ulama Hanfiyah, menjadikan lapar dan haus sebagai salah satu faktor bolehnya tidak berpuasa. Tentu saja lapar dan haus yang sangat.
Adapun kondisi yang sangat lapar dan harus yang dikhawatirkan terjadinya bahaya, maka kondisi ini secara mutlak membolehkan berbuka (tidak puasa). Itu sama kedudukannya dengan kondisi sakit yang dikhawatirkan terjadinya bahaya jika dilanjutkan berpuasa.
Ulama-ulama Syafi’iyah dan ulama-ulama yang yang lain berpendapat, siapa saja yang sangat kelaparan dan kehausan, dan khawatir terjadinya bahaya, maka dia wajib membatalkan puasanya, walaupun dia dalam kedaan sehat serta muqim (tidak safar).
Pendapat ini berdasarkan firman Allah: “dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu”46 dan Firman Allah: “Dan janganlah kamu jautuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tanganmu sendiri.”47 Maka mereka ini wajib qadha’ sebagaimana orang sakit. Wallahu a’lam.
Dari pendapat ulama di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa yang menjadikan boleh tidak berpuasa bukan semata pekerjaannya, tapi karena kondisi sangat haus dan laparnya. Jadi para pekerja tersebut tetap menjalankan puasa sebagaimana biasanya, tetap sahur, menahan lapar, haus dan semua hal yang membatalkan puasa. Sampai batas kemampuannya untuk bertahan. Jika sudah tidak tertahan rasa haus dan laparnya, maka dia boleh membatalkannya dengan konsekuensi mengqadha’ di lain hari di luar bulan Ramadhan.
Ditulis Oleh: Yudo Laksono
Kamu bisa menyempurnakan ibadah puasa dengan cara bersedekah kepada mereka yang membutuhkan. Caranya, kamu bisa berdonasi lewat Kitabisa. Kamu dapat berdonasi dengan cepat dan mudah lewat Aplikasi Kitabisa di Google Play Store dan App Store.