Cegah Anak Stunting dengan Kualitas Remaja Putri Indonesia

October 12, 2018
Oleh : 3PP Kitabisa

Stunting atau yang lebih familiar dikenal dengan tubuh pendek adalah kondisi yang diakibatkan kurang gizi kronis atau menahun dan berdampak pada tinggi badan anak serta perkembangan otak di usia selanjutnya. Stunting telah menjadi masalah nasional dengan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 adalah 37,2% anak Indonesia mengalami stunting. Prevalensi tersebut meningkat sejak tahun 2007 dan 2010. Ternyata, Indonesia juga tidak hanya ‘menyimpan’ balita stunting, tapi juga diancam oleh prevalensi balita kurus dan sangat kurus sebesar 12,1%. Kondisi balita kurus dan sangat kurus, jika terus dibiarkan maka akan berujung pada stunting. Hal ini tentunya akan menjadi ‘sumbangan baru’ untuk beban stunting di Indonesia.

Stunting tentunya telah menjadi ancaman yang serius bagi Indonesia karena pada tahun 2030 Indonesia mengalami puncak bonus demografi dengan jumlah usia produktif jauh lebih banyak dari jumlah usia tidak produktif. Ini berarti kualitas usia produktif di tahun 2030, sangat bergantung dengan kualitas balita saat ini dan juga kualitas calon ibu yang akan melahirkan generasi penerus bangsa. Jika bersimulasi dari sebuah kasus, sebutlah Ani adalah seorang remaja usia 15 tahun di 2030 dan saat ini adalah seorang balita berusia sekitar 3 tahun. Asupan gizi serta status kesehatan Ani di tahun 2018 sangat memengaruhi apakah Ani akan menjadi anak stunting dan bagaimana perkembangan otak Ani saat tumbuh dewasa. Tidak hanya status gizi Ani di tahun 2018 yang memengaruhi Ani di tahun 2030, tapi juga status gizi Ibu Ani dan Nenek Ani. Bagaimana ini bisa terjadi?

1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) adalah window of opportunity, atau masa dimana ibu bisa memaksimalkan kesehatan dan perkembangan anak melalui asupan gizi yang baik. Namun, sebelum 1000 HPK terjadi, calon ibu juga perlu memerhatikan asupan gizi untuk melahirkan anak sehat. Status gizi kurang yang dialami wanita saat hamil tidak hanya memengaruhi status kesehatan wanita tersebut, tapi juga dapat berdampak negatif pada berat badan bayi dan perkembangannya. Menurut berbagai penelitian, status gizi ibu saat hamil berhubungan dengan kejadian berat bayi lahir rendah (BBLR). Studi Aryastami dkk (2017) menunjukkan bahwa BBLR adalah prediktor utama untuk kejadian stunting balita usia 1-2 tahun di Indonesia. Maka dari itu, calon ibu generasi penerus bangsa penting sekali mempersiapkan kehamilan, mulai dari status gizi saat remaja hingga menuju masa kehamilan dan masa kehamilan itu sendiri, serta usia saat hamil.

Diperkirakan 23,9% perempuan Indonesia mengalami anemia. Anemia yang paling umum dan mudah untuk diatasi adalah anemia gizi besi. Anemia jenis ini dapat diatasi dengan konsumsi makan-makanan yang mengandung zat besi tinggi seperti hati, daging, ayam, ikan, kacang-kacangan dan sayuran hijau. Selain dari asupan makanan, zat besi dalam darah juga dapat ditingkatkan dengan konsumsi tablet tambah darah seminggu sekali, dan setiap hari selama masa kehamilan.

Kembali pada simulasi kasus Ani. Ani yang merupakan balita usia 3 tahun di tahun 2018, ternyata setelah ditelusuri riwayatnya merupakan bayi dengan berat lahir rendah karena ibu Ani melahirkan Ani di usia 15 tahun dengan lingkar lengan atas saat hamil kurang dari 23,5 cm. Selain itu, ibu Ani juga mengalami stunting karena saat lahir beratnya kurang dari 2,5 kg. Penelusuran berjalan lebih jauh, nenek Ani saat remaja ternyata adalah remaja yang anemia. Ani yang berusia 15 tahun pada tahun 2030 juga berisiko melahirkan anak dengan berat lahir rendah dan berisiko stunting, begitu juga yang terjadi dengan cucu Ani nanti. Dari kasus ini dapat diketahui bahwa stunting dan permasalahan yang menyertainya merupakan rantai yang tidak terputus dari status gizi wanita usia subur.

Indonesia dapat memanfaatkan bonus demografi sebaik-baiknya di 10 hingga 20 tahun mendatang dengan berinvestasi pada status gizi remaja putri. Untuk memutus mata rantai stunting yang seperti lingkaran setan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan remaja putri, khususnya wanita usia subur (WUS) yang berusia 15-49 tahun.

  • Makan-makanan beragam sesuai dengan Pedoman Gizi Seimbang dan Isi Pringku, yaitu sumber karbohidrat, sumber protein hewani dan nabati, sayur-sayuran, buah-buahan, serta sumber lemak. Wanita usia subur dianjurkan untuk konsumsi makanan yang tinggi zat besi dan tablet tambah darah.
  • Menurut BKKBN, anjuran usia saat hamil minimal adalah 21 tahun. Selain memerhatikan kesiapan psikologis dan biologis (organ reproduksi), usia minimal tersebut juga dianjurkan karena bertujuan untuk mencegah terjadinya malnutrisi saat hamil. Wanita yang masih dalam masa pertumbuhan akan lebih sulit mengatur kebutuhan gizi tubuhnya saat hamil dikarenakan tubuh masih membutuhkan gizi untuk bertumbuh dan di saat yang bersamaan janin juga membutuhkan gizi untuk berkembang.
  • Lingkar lengan atas wanita usia subur dianjurkan untuk tidak kurang dari 23,5 cm sebagai prediktor status gizi. Wanita dengan gizi yang baik maka akan mengurangi risiko terjadinya kejadian BBLR.
  • Penting untuk remaja putri mendapat edukasi sejak dini mengenai Gizi Seimbang, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, serta Kesehatan Reproduksi, sehingga tubuh akan lebih siap saat memasuki usia subur dan kehamilan. (Gita Kartika Ramadhani, S.Gz.)

Seperti 1000 HPK, kamu juga bisa menolong keluarga, sahabat, atau tetanggamu yang sedang butuh bantuan biaya pengobatan dengan cara galang dana di Kitabisa. Melalui galang dana di Kitabisa, kamu bisa menerima donasi dari keluarga, sahabat, dan para donatur yang tergerak membantu.

Kamu bisa konsultasi galang dana untuk biaya pengobatan dengan cara, klik : ktbs.in/tanya atau kirim pesan WhatsApp ke nomor 081315532353.

 

Bagikan