Dokter Dinis, Dokter yang Berdamai dengan Penyakit Autoimun

December 4, 2018
Oleh : Nova Zakiya

“Dokter Dinis harus merelakan impiannya menjadi dokter spesialis saraf karena 4 jenis penyakit autoimun di tubuhnya. Ia sempat  putus asa dan tak ingin menjalani pengobatan yang dianggap sia-sia. Namun pada akhirnya, dr. Dinis menemukan banyak hal yang bisa membuatnya bangkit kembali.”

Saya seorang dokter tapi saya juga pasien autoimun. Buat yang belum tahu, penyakit autoimun itu terjadi saat sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel sehat dalam tubuh. Jadi, sistem yang seharusnya melindungi tubuh kita dari virus atau bakteri, malah menyerang dirinya sendiri. Gejalanya juga tidak khas, bisa dibilang subjektif karena cuma saya yang merasakannya, sementara orang lain lihat saya sehat-sehat aja.

 

Awal Perkenalan dr. Dinis dengan Autoimun

dokter dinis autoimun

Tahun 2009 jadi awal mula saya ‘berkenalan’ dengan penyakit autoimun. Waktu itu, saya masih menjalani ko assisten (koas) tingkat 5 Fakultas Kedokteran UI di Departemen Saraf RSCM. Awalnya, saya cuma merasa nyeri di bagian pergelangan kaki. Saya berpikir, ini hal yang wajar karena koas kan emang lebih capek dan banyak tugas ketimbang kuliah di kelas aja.

Sayangnya, rasa nyeri ini tidak hilang walau saya sudah istirahat dan ganti sepatu yang lebih nyaman. Malah rasa sakitnya makin menyebar ke pergelangan tangan. Badan saya juga rasanya letih banget kayak habis olahraga berat. Rambut saya mulai menipis karena rontok.

Saya tidak mau ambil pusing sama rasa sakit ini. Tapi ternyata, ibu saya mulai curiga saya ada penyakit.

 

Saat dr. Dinis Memulai Pengobatan Autoimun

dokter dinis autoimun

Saya dan ibu akhirnya mencari tahu penyebab rasa sakit ini. Kita menduga, ada masalah dengan saraf saya karena seluruh badan saya sering terasa sakit seperti ditusuk-tusuk. Setiap pagi, badan saya kaku dan susah untuk bangun.

Saya juga sudah berkonsultasi ke beberapa dokter saraf, namun hasil pemeriksaannya tidak merujuk ke jenis penyakit tertentu. Saya disarankan untuk konsultasi ke dokter imunologi. Hasil pemeriksaannya masih belum jelas, karena ada yang positif dan negatif. Gejalanya juga belum khas.

Rasa sakit yang tak kunjung hilang namun belum diketahui penyebabnya ini membuat saya berobat ke pengobatan kedokteran tradisional Cina di Malaysia. Setelah diperiksa, muncul sebuah diagnosa penyakit autoimun bernama rheumatoid arthritis (RA). Penyakit autoimun sistemik ini menyerang jaringan sendi-sendi, termasuk tulang dan rawan.

Sehingga menghasilkan rasa nyeri yang luar biasa. Saya harus menjalani terapi pengobatan akupuntur yang bisa dibilang rasa sakitnya melebihi rasa sakit saat melahirkan. Tapi ajaibnya, rasa sakit yang selama ini saya rasakan mulai menghilang walau hanya bertahan satu bulan.

Tadinya, saya ingin cuti kuliah karena penyakit ini. Tapi, karena pengobatan di Malaysia mulai membuahkan hasil, saya jadi berobat rutin sebulan sekali. Saya bisa menyelesaikan kuliah kedokteran saya. Tak hanya itu, 3 bulan setelah lulus, saya dinyatakan remisi alias penyakitnya dianggap sudah tidak aktif lagi.

 

Kabar Bahagia bagi dr. Dinis bernama Remisi

dokter dinis autoimun

Setelah mendapat predikat ‘remisi’ di tahun 2010, saya mulai beraktivitas lagi. Ia sudah memiliki rencana untuk menggapai cita-citanya yaitu menjadi dokter spesialis saraf. Sayang, 3 bulan kemudian, penyakit autoimunnya muncul kembali  dan lebih berat. Besar kemungkinan karena saya menganggap badan saya sudah sepenuhnya sehat, jadi saya aktif banget ikut banyak kegiatan.

Dari yang semula hanya rheumatoid arthritis (RA), penyakit autoimun saya kini bertambah Sjogren’s Syndrome (SS). Penyakit ini menyerang jaringan kelenjar eksokrin (penghasil air mata, air liur, dan keringat) yang bisa menimbulkan iritasi, radang sendi, fatigue dan lainnya.

Saya merasa beruntung bisa mendapat informasi yang lebih banyak soal autoimun karena lingkungan saya yang memang berprofesi jadi dokter. Ibu saya juga seorang dokter, jadi lebih gampang buat tanya-tanya cari dokter yang bagus. Akhirnya, saya menemukan dokter yang cocok untuk pengobatan autoimun di Singapura. Berkat pengobatan ini, saya bisa menyelesaikan pendidikan S2 di Inggris.

 

Mempelajari Penyakit Autoimun saat Pendidikan S2

Memiliki penyakit yang obatnya tidak banyak di Indonesia membuat saya tertarik untuk mempelajari autoimun lebih dalam pas kuliah S2. Saya sengaja memilih Imunobiologi (ilmu sistem kekebalan tubuh) dengan proyek penelitian tentang Sjorgen Syndrome.

Pertanyaan ‘mengapa saya bisa terkena?’ dan ‘apa ada harapan untuk sembuh?’ jadi alasan saya ambil tema Sjorgen Syndrome. Selama ini, kedokteran di Indonesia jarang ada yang bahas autoimun secara lengkap dan juga belum ada dokter khusus autoimun. Pengobatannya pun dilakukan berdasarkan jenis penyakitnya dengan gejala yang tidak terlalu khas. Misalnya, saat menyerang saraf, maka kita bisa konsultasi ke dokter saraf. Dengan kata lain, mengobati autoimun berarti harus bekerja sama dengan banyak dokter spesialis.

Ini memang bukan cita-cita yang semula saya rencanakan. Dari dulu, saya ingin jadi dokter spesialis saraf. Tapi paling tidak, saya masih bisa berguna buat orang banyak dengan mempelajari autoimun lebih dalam.

 

Saat Penyakit Autoimun Langka Menyerang dr. Dinis

Setelah lulus S2, saya berhasil diterima pendidikan S3 di Oxford, Inggris. Saya harus kembali ke Indonesia untuk memperpanjang visa. Saya juga sempat bekerja di Kantor Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) dengan ritme kerja yang cukup padat dan sering keluar kota. Saat itu, Sjorgen Syndrome saya memang dinyatakan remisi, tapi tidak dengan rheumatoid arthritis-nya yang makin aktif. Selang 3 bulan, penyakit autoimun saya kambuh lagi.

Saat itu, kaki saya susah digerakkan seperti terkena penyakit Parkinson. Saya terpaksa berhenti kerja untuk fokus kembali ke pengobatan. Padahal waktu itu, karir saya lumayan bagus. Saya ditunjuk jadi leader sebuah proyek di kantor saya.

Di tengah pengobatan, saya juga sempat menjalani operasi usus buntu dan pengangkatan endometriosis. Saya harus mengonsumsi obat hormon agar endometriosisnya tidak tumbuh lagi. Sayangnya, orang dengan autoimun tidak pernah cocok dengan obat hormon. Saya mengalami stroke sampai 5 kali dan sempat muncul vaskulitis atau peradangan pembuluh darah di otak.

Tak hanya itu, penyakit autoimun saya kembali bertambah. Addison’s disease, jenis penyakit autoimun langka ini bersarang di tubuh saya. Penyakit ini menyerang kelenjar adrenal sehingga tidak bisa menghasilkan hormon yang seharusnya. Tubuh saya jadi lebih sensitif dan tidak kuat terhadap perubahan cuaca dan cahaya, gula darah yang turun drastis dan bisa tiba-tiba pingsan.

 

Dari Menolak Kenyataan Hingga Berdamai dengan Autoimun

dokter dinis autoimun

Tentu bukan hal yang mudah bagi saya untuk jadi satu dari ratusan ribu penderita autoimun di Indonesia, khususnya addison’s disease. Rencana hidup saya seolah berantakan dengan adanya 4 jenis penyakit autoimun ini di tubuh saya. Tak hanya melepas cita-cita sebagai dokter spesialis saraf, tapi saya juga harus merelakan kesempatan S3 dan karir saya. Kaki saya lumpuh, badan juga tidak bisa digerakkan. Saya merasa tidak berguna karena selalu butuh bantuan orang kemana pun saya pergi.

Tak hanya itu, saya bahkan sempat bertengkar sama ibu karena ingin mengakhiri hidup dengan tidak melanjutkan pengobatan. Saya merasa, pengobatan yang selama ini saya jalani sia-sia. Tapi, ibu saya tidak menyerah dan selalu kasih semangat buat bangkit. Padahal, di waktu yang sama, ibu saya juga harus merawat ayah yang menderita sakit ginjal.

Berkat dorongan ibu, saya perlahan bangkit. Saya mulai menulis tentang penyakit autoimun di blog karena memang tidak banyak informasi yang bisa didapat orang awam tentang penyakit ini. Saya tidak menyangka, ada banyak banget komentar positif di blog. Padahal, tulisan pertama ini saya buat dengan setengah hati karena saya masih belum sepenuhnya menerima kenyataan.

“Banyak komentar yang masuk ke email saya setelah saya membuat blog tentang autoimun. Saya nggak nyangka, segitu banyaknya orang mencari informasi soal autoimun di Indonesia. Di titik ini, saya merasa masih bisa berguna untuk orang lain,” – dr. Dinis.

Ada perasaan haru saat saya menerima komentar itu di blog. Saya merasa tidak sendiri. Ternyata, ada teman yang sama-sama butuh semangat untuk melawan autoimun. Dari sinilah, saya membentuk Komunitas Autoimun Indonesia sebagai tempat berbagi informasi bagi teman-teman autoimun. Sebagai dokter, saya tentu punya akses informasi tentang autoimun yang lebih banyak daripada teman autoimun lainnya. Kini, tujuan hidup saya tidak lagi menolak penyakit tersebut, tapi berganti untuk mulai mencoba berdamai dengan autoimun.

Saat ini, 2 dari 4 jenis penyakit autoimun yang ada di tubuh saya sudah dinyatakan remisi. Selain menjalani terapi rutin, saya masih harus menjaga aktivitas agar tidak mudah stres dan capek. Saya berharap, remisi saya bisa berubah menjadi permanen supaya bisa terus membantu teman-teman autoimun yang ada di Indonesia.


Bantu mereka yang membutuhkan bantuan biaya pengobatan dengan cara donasi di Kitabisa. Caranya, klik gambar di bawah ini!bantu biaya rumah sakit

Bagikan